https://si0.twimg.com/profile_images/1668065901/196658_10150137918697277_707352276_6260986_5435390_n.jpg
Jimmy Blog |Pengembara yang mencari nilai-nilai |

Seputar Minagkabau Kuno

Jumat, 18 Mei 2012



istana_pagaruyung_ps2
a.    Maharaja yang Bermahkota 

Versi lain dari Tambo menceritakan, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, ketika berada di dekat pulau Sailan (Srilangka) – mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai menyelam telah diperintahkan untuk mengambil makhkota emas itu. Tetapi makhkota itu tidak berhasil diraih, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut.  Cati Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa.  Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan “camin taruih” dibuatlah tiruannya dengan sempurna. Setelah selesai,  tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi. Ketika Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.

Komentar ~ padusi ~ : entah darimana cerita dongeng ini adanya, nyatanya kami temui dalam tambo tambo minangkabau yang tersebar dalam penerbitan buku.

b.  Galundi Nan Baselo

Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat.  Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai.  Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali.

Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula.
Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”.

  • Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan “Si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.

  • Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh.  Keturunan “Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok).
  • Keturunan “Kucing Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.

c. Kedatangan Sang Sapurba 

Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “Datanglah ruso dari Lauik”. Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam.  Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun.

Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi.

Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito.  Sang Sapurba beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.


d. Raja yang Hanya Sebagai Lambang 

Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan Sang Sapurba hanya sebagai lambang.  Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang” tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb. Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gadang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih bernama ” Padang Panjang “.  Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang.

Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat “penghulu” dan bergelar “Datuk”. · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan.


e.      Sikati Muno

Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung Merapi. Rakyat sangat takut kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya.

Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”, keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga.  Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru.
Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di Sungai Tarab.

Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap, lalu  raja berpindah tahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu. Tempat baru itu kemudian diberi nama negeri Bungo Satangkai. Negeri g kedua sesudah Nagari Pariangan di Padang Panjang.

(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)

II. Minangkabau Kuno :
 
Sulit bagi kita menyebutnya sebagai sebuah kerajaan pada masa Minangkabau kuno ini. Berpusat di Nagari Pariangan Padang Panjang – dapatlah dikatakan sebagai awal dari kehidupanan masyarakat minangkabu kuno. Dengan perkembangan Masyarakat kala itu, maka diciptakan oleh nenek moyang suatu tatanan kehidupan yang lebih beradat dan berbudaya. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat Minangkabau yang kita amalkan sampai sekarang. Walaupun telah kehidupan masyarakat berarlih seiring dengan perubahan masyarakat, namun pada kenyataanyaa adat dan budaya Minangkabau tetap terpakai. Sebuah pepatah menyebutkan adat minangkabau ” Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan.Siapapun diantara putra-putri Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih kehidupannya dalam keluarga sendiri.

Dikisahkan bahwa pada  tahun 1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni adik kandung dari Datuk Suri Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tersebut. Kemudian Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang ibu.
Tahun 1149, Sultan Sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai  dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri Dirajo, maka  Puti Indo Jelito yang menjanda itu, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak :
  1. Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)
  2. Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
  3. Puti Reno Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum dimana anak dan kemenakannya kemudian diangkat menjadi penghulu.
  4. Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
  5. Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)
Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan. Sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito.

Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.
Tahun 1174  – Minangkabau kuno  memperluas pengaruh dan pemberlakukan adatnya ke Sungai Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu – anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja.

LUHAK NAN TIGO :

Karena penduduk semakin berkembang dan kepadatan penduduk daerah Pariangan semakin terasa, maka tahun 1186-1192 diadakanlah perpindahan penduduk melalui pembagian Luhak Nan Tigo.

KELARASAN :

Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan. Pada kelarasan dibentuk pula beberapa Suku.

SUKU :

Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya.

SISTEM KEKERABATAN :

Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka dibangunlah system kekerabatan dimana perempuan sebagai penerus garis keturunan atas dasar suku. Mereka memelihara harta. Harta pusaka dari kaum , diwariskan kepada keturunan perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi. Dan satu lagi berkembang di Sumbar.

Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku. Pada tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara.

Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahi, Mahisa Anabrang – mengambil alih kerajaan Singhasari itu. Di sinilah Dara Jingga – melahirkan anaknya yang diberi nama Adityawarman.  Kemudian adik Dara Jingga yaitu  Dara Petak, menikah dengan (Raden Wijaya) – Raja Majapahit pertama . Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan Majapahit.

Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka tahun 1295, Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya.

Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, Datuk Ketumanggungan mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perparih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun. Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang diplomat utusan dari kerajaan Cina (khubilai Khan).

Sebelum menikah terlebih dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak bernama Cindur Mato thn 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrang yang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya.  Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit.

Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Gajah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan.

Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali. Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap Minangkabau. Kalau di zaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya.

Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu. Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.  

(Sumber : Kerajaan Minangkabau – Jamilus Jamin)

III.   Asal Usul Kata Minangkabau

Orang-orang Majapahit tidak ketinggalan mencoba kecerdasan dan kecerdikan orang-orang dari Gunung Merapi ini. Pada suatu hari mereka membawa seekor kerbau besar dan panjang tanduknya, kecil sedikit dari gajah.  Mereka ingin mengadakan pertandingan adu kerbau. Ajakan mereka itu diterima baik oleh kedua Datuk yang tersohor kecerdikannya dimana-mana itu, yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang.

Taruhannya adalah seperti dulu-dulu juga, yakni kapal pendatang dengan segala isinya, dan taruhan datuk yang berdua itu ialah kerajaan mereka sendiri. Waktu tiba saatnya akan mengadu kerbau, setelah kerbau Majapahit dilepaskan di tengah gelanggang, orang banyak riuh bercampur cemas melihat bagaimana besarnya kerbau yang tidak ada tandingannya di Pulau Perca waktu itu. Dalam keadaan yang menegangkan itu, pihak orang-orang negeri itupun mengeluarkan kerbaunya pula. Dan alangkah herannya dan kecutnya hati orang banyak itu melihat mereka mengeluarkan seekor anak kerbau. Anak kerbau itu sedang erat menyusu, dan orang tidak tahu, bahwa anak kerbau itu telah bebearapa hari tidak diberi kesempatan mendekati induknya.

Ketika melihat kerbau besar di tengah gelanggang anak kerbau itu berlari-lari mendapatkannya yang dikria induknya dengan kehausan yang sangat hendak menyusu. Dimoncongnya terikat sebuah taji atau minang yang sangat tajam. Ia menyeruduk ke bawah perut kerbau besar itu, dan menyinduk-nyinduk hendak menyusu. Maka tembuslah perut kerbau Majapahit, lalu lari kesakitan dan mati kehabisan darah.

Orang-orang Majapahit memprotes mengatakan orang-orang negeri itu curang. Kegaduhan pun terjadi dan hampir saja terjadi pertumpahan darah. Tetapi dengan wibawanya Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang membawa orang-orang itu ke balai persidangan. Disanalah Dt. Parpatih Nan Sabatang menangkis tuduhan-tuduhan orang-orang Majapahit. Akhirnya orang-orang Majapahit pemgakui kealpaan mereka tidak mengemukakan persyaratan-persyaratan antara kedua belah pihak sebelum mengadakan pertandingan.

Sejak itu tempat mengadu kerbau itu sampai sekarang bernama Negeri Minangkabau. Dan kemudian hari setelah peristiwa kemenangan mengadu kerbau dengan Majapahit itu termasyhur kemana-mana, wilayah kekuasaan orang-orang yang bernenek moyang ke Gunung Merapi dikenal dengan Alam Minangkabau. Diceritakan pula kemudian rumah-rumah gadang diberi berginjong seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)
 
4. Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan

Negeri Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatannya terletak Gubernemen Melaka sebelah ke timur dengan negara bagian Jojor, sebelah utara dengan Pahang dan sebelah barat dengan Selangor.  Dalam tahun 1970 negara bagian yang luasnya 2.580 mil persegi ini mempunyai penduduk lebih dari setengah juta jiwa dengan penduduk berkebangsaan Melayu lebih sedikit dari bangsa Cina.

Mayoritas di Malaysia terdiri dari tiga rumpun bangsa : Melayu, Cina dan Keling. Penduduk bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu sebahagian besar masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu Minangkabau. Masih banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang oleh mereka dan sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan beberapa keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan pada mereka masih tetap segar.

Catatan Pembanding :

By: Jodi

Dalam tulisan diatas “Silsilah Kerajaan Minangkabau ” yang di copykan oleh “Arman Bahar Piliang Malin Bandaro” saya cuplik sedikit :

Kerajaan Minangkabau Tua yang belum bernama Minangkabau ini bertahan ratusan tahun sepanjang umur Datuak Maharajo Dirajo yang diyakini sebagai manusia Setengah Dewa yang dianugrahi umur ratusan tahun, setelah beliau mangkat pemerintahan dilanjutkan oleh Datuak Suri Dirajo Penghulu kepercayaannya.

Salah seorang Janda Datuak Maharajo Dirajo yang bergelar Puti Indo Julito dikawini oleh Cati Bilang Pandai orang kepercayaan almarhum yang kemudian memboyong keluarga beserta anak2nya Jatang Sutan Balun, Puti Jamilan, Sutan Sakalap Dunia, Puti Reno Sudah dan Mambang Sutan ke Dusun Tuo Limo Kaum, selanjutnya setelah mereka dewasa Datuak Suri Dirajo bermufakat bersama Cati Bilang Pandai untuk mengangkat :

Sutan Paduko Basa dengan gelar Datuak Katumangguangan dan
Jatang Sutan Balun dengan gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang serta
Sutan Sakalap Dunia dengan gelar Datuak Surimarajo Nan Ba-nego2

Sementara dari tulisan “Dua Orang Datuk menurut Sejarah dan Tambo Oleh : Hifni H. Nizhamul
menuliskan :

Sedangkan Dara Jingga, diperistri oleh seorang kerabat Istana. Dara Jingga kembali ke Darmasyraya dalam keadaan hamil. Di Darmasyraya inilah ia melahirkan anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama “ ADITYAWARMAN”. Ada dugaan yang menghamili Dara Jingga adalah Raden Wijaya, yang setelah lahir bernama “ Adityawarman”.

Kemudian Dara Jingga menikah dengan Wiswarupakumara, seorang pejabat tinggi Majapahit di Darmasyraya. Mungkin dari perkawinannya yang kedua ini, Dara Jingga melahirkan seorang putera lagi yang kemudian bernama Prapatih..

Didalam Tambo dikatakan Datuk Ketemanggungan adalah anak raja. Ketika ibunya menikah lagi dengan Cati Bilang Pandai , lahirlah adik seibunya yang bernama Datuk Perpatih Nan Sabatang. Dengan demikian dapat diduga bahwa :

Adityawarman adalah Datuk Ketemanggungan,
Prapatih adalah Datuk Perpatih Nan Sabatang, sedangkan
Wiswarupakumara adalah Cati Bilang Pandai.

Asmaniar Z. Idris, mengemukakan, bahwa Dara Jingga seperti yang dikisahkan dalam sejarah – mempunyai nama lain dalam Tambo, yaitu Bundokanduang. Dang Tuanku dan Cindurmato ialah Adityawarman dan Prapatih. Perbedaannya adalah dalam Tambo dikisahkan bahwa Dang Tuanku dan Cindur Mato adalah bersaudara satu ayah dengan dua ibu. (lihat “ kerajaan Minangkabau Pagaruyung dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau tahun 1970 di Batusangkar, Asmaniar Z. Idris)

Dari kedua cuplikan tulisan diatas terdapat beberapa perbedaan yang mendasar, karena menyagkut silsilah dan keturunan masyarakat minang….? jangan sampai menyesatkan dan menimbulkan persepsi lain bagi pembaca sekalipun ini ada di dunia maya.
apakah anda atau siapapun yang lebih paham dapat menjelaskan siapa itu :

Datuk Ketemanggungan ( Raden Wijaya kah, Adityawarman kah, Sutan Paduko Basa kah, Dang Tuanku kah )

Datuk Perpatih Nan Sabatang (Prapatih kah, Jatang Sutan Balun kah, Cindurmato kah )

Dara Jingga…., Puti Indo Julito…, Bundo kanduang…,
Juga pernyataan dari tulisan ini:

1. ” Dugaan yang menghamili” Dara Jingga adalah Raden Wijaya, yang setelah lahir bernama “ Adityawarman”.
2.” Mungkin dari perkawinannya yang kedua ini, Dara Jingga melahirkan seorang putera lagi yang kemudian bernama Prapatih.
Saya berharap ada yang dapat menjelaskan ini agar mendekati kebenaran dapat diterima umum khususnya masyarakat minang kabau.




Dari pemilik blog :
Mohon kalau ada info yang lebih mendekati ke fakta atau catatan yang lebih valid dari terjemahan tambo yang beredar.

Baca Selengkapnya

Bundo Kanduang Sejati Menurut Minangkabau

Oleh : Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



Menurut kabar atau ceritera lisan Minangkabau, Bundo Kanduang adalah nama seorang tokoh wanita yang menurunkan raja-raja Minangkabau, berkedudukan di Istana Pagaruyung. Dalam perkembangan selanjutnya, Bundo Kanduang atau Bunda Kandung menjadi istilah yang berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan.Menurut adat Minangkabau ibu adalah tempat menarik tali turunan yang disebut matrilineal. Hal ini mengandung makna agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu terutama laki-laki, menghormati dan memuliakan ibu tana pandang bulu. Kedudukan wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari ciri khas adat Minangkabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain: jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan harus beruku Paliang sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya.

Seorang ibu akan lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkan seperti pepatah:

Kalau karuah aie di hulu
Sampai ka muaro karuah juo
Kalau kuriak induaknya, rintiak anaknyo
Tuturan atok jatuhan ka pelimbahan

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih: Kalau keruh air dihulu/sampai ke muuara keruh juga/kalau ibunyi kurik, rintik anaknya/cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan.

Sesuai dengan kedudukan dan peranannya, rumah tempat tinggal diutamakan untuk wanita, bukan laki-laki. Seorang bapak selalu mempunyai cita-cita untuk membuatkan rumah tempat tinggal anaknya yang perempuan, bukan untuk anaknya yang laki-laki. Bahkan menurut adat Minangkabau, sudah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat mempengaruhi sistem perkawinan di Minangkabau, dimana setiap terjadi perkawinan si laki-laki menetap di rumah perempuan, sebaliknya apabila terjadi perceraian, laki-laki yang pergi dari rumah, perempuan tetap tinggal.
Sawah dan ladang merupakan sumber ekonomi, pemanfaatannya diutamakan untuk keperluan wanita karena wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Sebaliknya kaum laki-laki Minangkabau diberi tugas mengurus dan mengawasi sawah ladang untuk kepentingan bersama karena laki-laki menjadi tulang punggung bagi wanita, namun tidak berarti bahwa kaum laki-laki tidak dapat menikmati hasil atau mendapat manfaatnya sama sekali.

Sesuai dengan sifatnya wanita yang pandai berhemat dan pandai mengatur ekonomi, maka yang menyimpan hasil sawah ladang dipercayakan kepada wanita atau Bundo Kanduang.
Menurut adat Minangkabau, segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam lingkungan kaum dan persukuan selalu melalui musyawarah. Dalam musyawarah tersebut kaum wanita mempunyai hak suara dan pendapat sama dengan laki-laki. Bahkan suara dan pendapat wanita menentukan lancar atau tidaknya pekerjaan tersebut. Misalnya, dalam upacara pernikahan belum dapat dilaksanakan jika belum mendapat persetujuan dari kaum wanita atau kaum ibu. Demikian pula dalam mendirikan gelar penghulu dalam suatu kaum baru dapat diresmikan apabila semua ibu dalam kaum tersebut menyetujuinya. Di samping itu penggunaan harta pusaka seperti menggadai, atau hibah dapat dilakukan tetapi harus mendapat persetujuan dari seluruh wanita anggota kaumnya. Penggunaannya pun untuk kepentingan bersama, misalnya untuk biaya upacara kematian, biaya upacara perkawinan anak perempuan dan untuk memperbaiki rumah gadang (rumah adat).

Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Bundo Kanduang

Sesuai dengan tugas ibu sebagai pengantara keturunan dan mendidik anak-anak yang dilahirkannya, menurut adat Minangkabau seorang ibu harus memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya. Sifat yang herus dimiliki oleh Bundo Kanduang tidak jauh berbeda dengan sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu, antara lain:

1. Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran.

2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam berkata-kata, berbicara maupun bertindak.

3. Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah, mengetahui untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan mengambil suatu keputusan. Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai pengetahuan, sekurang-kurangnya pengetahuan tentang agama, pendidikan maupun bidang kewanitaan yang sangat berguna dalam berumahtangga. Untuk mengikuti pergaulan di lingkungan kampung dan nagarinya perlu juga mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi nagarinya.

4. Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam arit fasih mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara atau berkata-kata ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah tangga, keluarga maupun di lingkungan kaumnya karena merupakan sarana untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama bagi sesama kaum wanita dan anak-anak.

5. Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah perbuatan yang melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku. Rasa malu merupakan benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat dan perbuatan tercela. Menurut adat Minangkabau sifat malu merupakan peran utama dalam kehidupan kaum wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa malu akan membahayakan kehidupan rumahtangga, bahkan membahayakan masyarakat.
Selain kelima sisat tersebut, seorang wanita harus dapat menjaga nama baik agar tetap disebut wanita sejati. Bundo Kanduang harus berhati-hati dalam tingkah laku dan perbuatan, misalnya dalam pergaulan dengan laki-laki, cara berpakaian, makan, minum, berbicara dan sebagainya. Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi wanita di dalam kehidupan, maka anak perempuan sangat diutamakan, namun bukan berarti bahwa adat Minangkabau tidak memerlukan keturunan laki-laki.
Keduanya merupakan dua kesinambungan dan saling mendukung.

Kewajiban Bundo Kanduang
Seorang ibu di Minangkabau mempunyai kewajiban sebagai pemimpin dalam rumahtangga maupun kaumnya antara lain:

Menuruik alua nan lurui
Manampuah jalan nan pasa
Mamaliharo harato pusako
Mamaliharo anak dan kemenakan

Dalam bahasa Indonesia artinya: Mengikuti aturan yang telah digariskan/Melalui jalan yang biasa ditempuh/Memelihara/menjaga harta pusaka/Memelihara anak dan kemenakan.

Dengan demikian kewajiban ibu adalah mentaati semua aturan dan ketentuan adat maupun peraturan di dalam negeri yang sudah diputuskan dengan mufakat oleh para pemimpin dan pemangku adat. Sebagai contoh dalam pelaksanaan perkawinan, kematian dan bidang kemasyarakatan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu dilandasi oleh alur dan patut, yaitu melalui jalan yang dibenarkan oleh adat dan agama, serta yang lazim ditempuh orang.

Harta pusaka seperti sawah, ladang, saluran air, tepian mandi, jalan, tanah perkuburan dan lain-lain harus dipelihara jangan sampai habis atau berpindah tangan ke kaum atau nagari lain. Wanita berkewajiban melarang kaum laki-laki menggadaikan harta pusaka untuk kepentingan di luar ketentuan adat, apalagi menjualnya. Harta pusaka ini harus dijaga keutuhannya karena kelak diteruskan kepada generasi berikutnya.

Kewajiban paling utama bagi Bundo Kanduang di Minangkabau adalah memelihara anak dan kemenakan, yakni anak-anak dari saudara perempuan suaminya. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas, yang pada pokoknya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang mungkar atau jahat. Sebagai ibu mempunyai tugas merawat, membimbing, mendidik anak-anaknya sedangkan terhadap kemenakannya berkewajiban membimbing; memberi bantuan serta memperhatikan pendidikannya.

Pakaian Adat Bundo Kanduang
Pakaian adat Bundo Kanduang di Minangkabau pada hakekatnya sama, tidak terdapat perbedaan yang tajam antara luhak (daerah asal) dengan daerah rantau. Perbedaan hanya terlihat pada bentuk variasi dan hiasannya saja.

Seorang wanita yang diangkat sebagai Bundo Kanduang merupakan wanita yang memegang peranan dalam kaum atau sukunya.
Tidak semua wanita di Minangkabau dianggap Bundo Kanduang karena harus memenuhi kriteria dan persyaratan seperti uraian di atas. Sehubungan dengan itu pakaian Bundo Kanduang dalam upacara-upacara adat mempunyai bentuk-bentuk tertentu dan berbeda dengan wanita lainnya.
Pakaian Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi, seperti yang terdapat di beberapa daerah di Minangkabau, namun mempunyai persamaan poko yang merupakan satu kesatuan.
Adapun pakaian Bundo Kanduang menurut adat yang lazim.

1. Tengkuluk
Bagian kepala seorang wanita yang telah diangkat sebagai Bundo Kanduang pada waktu menghadiri upacara adat harus ditutup. Penutup kepala ini disebut tengkuluk yang dipakai dengan cara tertentu sehingga bentuknya menyerupai tanduk kerbau. Tutup kepala tersebut dibuat dari selendang tenunan Pandai Sikek. Di beberapa daerah terdapat beberapa cara memakainya sehingga bentuknya pun bervariasi. Di Kabupaten Agam ujungnya runcing, di Payakumbuh ujung pepat, di daerah Lintau Kabupaten Tanah Datar tanduknya bertingkat dan lain-lain.

2. Baju kurung
Baju yang dipakai oleh Bundo Kanduang dalam upacara adat disebut baju kurung yang melambangkan bahwa ibu tersebut terkurung oleh undang-undang yang sesuai dengan agama dan adat di Minangkabau. Baju kurung ini diberi hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga kecil yang disebut tabua atau tabur. Warna baju kurung bermacam-macam menurut darah masing-masing, seperti hitam, merah tua, ungu atau biru tua. Pada lengan kiri, kanan atau pinggir bagian bawah baju diberi jahitan tepi yang disebut minsia, melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus selalu berhati lapang, sabar menghadapi segala persoalan. Sedangkan hiasan tabur melambangkan kekayaan alam Minangkabau, warna hitam melambangkan Bundo Kanduang tahan tempa, tabah dan ulet, warna merah melambangkan keberanian dan tanggung jawab.

3. Kain sarung atau kodek
Kain sarung yang dipakai oleh Bundo Kanduang dibuat dari kain balapak atau songket tenunan Pandai Sikek, Padang Panjang. Kain sarung ini berhiaskan benang emas atau perak dengan motif bunga, daun atau garis-garis geometris. Sedangkan tepinya dihiasi motif pucuk rebung. Kain sarung dipakai sebatas mata kaki melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus mempunyai rasa malu, kesopanan, ketaatan beragama tetapi mudah melangkah. Hiasan tabur pada kain serung melambangkan pengetahuan Bundo Kanduang sebanyak bintang di langit, motif pucuk rebung melambangkan inisiatif dan gerak dinamis masyarakat Minangkabau.

4. Selandang
Setelah memakai baju kurung, di atas bahu kanan dipakai selendang atau selempang dari kain songket yang disebut kain balapak buatan Pandai Sikek. Cara memakainya di selempangkan dari bahu kanan ke bawah tangan kiri, melambangkan tanggung jawab yang dibebankan di pundak Bundo Kanduang, yang harus dilaksanakan dengan baik.
Sebagai pelengkap pakaian adat Bundo Kanduang antara lain selop atau sandal, kampie yaitu sejenis kantung kacil terbuat dari kain beludru sebagai tempat sirih pinang. Sebagai perhiasan antara lain kalung dan gelang. Kalung Bundo Kanduang ada beberapa macam, yaitu kalung cekik leher, kalung kaban, kalung rago-rago dan kalung panjang.

Leher sebagai lambang kebenaran akan tetap berdiri teguh dan sebagai pernyataan tetap menegakkan kebenaran dilambangkan dengan memberi hiasan kalung. Kalung juga melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang dan sebagai pengatur ekonomi maka perlu menyimpan harta dalam bentuk emas yang sukar dihabiskan.

Selain kalung, hiasan lainnya adalah gelang, yaitu gelang gadang atau besar, gelang rago-rago dan gelang kunci manik. Pemakaian gelang melambangkan semua yang dikerjakan Bundo Kanduang harus dalam batas-batas tertentu, menjangkau ada batasnya, melangkahkan kaki juga ada batasnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bundo Kanduang merupakan figur ibu sejati yang sangat diharapkan dan sangat berperan dalam masyarakat Minangkabau. Tidak semua wanita atau semua ibu mempunyai predikat Bundo Kanduang karena harus memiliki beberapa kriteria dan persyaratan tertentu yang digariskan menurut agama dan adat Minangkabau. Sebaliknya kaum ibu yang disebut Bundo Kanduang sangat dihormati dan dimuliakan. Kedudukan dan peranannya dalam adat sangat besar. Karena status tersebut, Bundo Kanduang mempunyai batas-batas yang digariskan oleh adat dalam berbuat, bertindak dan bertingkah laku. Gambaran Bundo Kanduang ini diwujudkan pula dalam pakaian adat yang dipakai dalam upacara tertentu, yang penuh dengan lambang dan makna.

Sayang sekali jika hal ini tidak diketahui oleh generasi muda, khususnya pendukung kebudayaan bersangkutan karena berarti tidak mengenal dan mencintai nilai budaya nenek moyang.
Baca Selengkapnya

Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katamanggungan


Pernah dengar nama 2 urang basa (--orang besar) ini?
Merekalah 2 datuk pengasa adat Minangkabau dan kawasan rantau Melayu.
Siapa sih sebenarnya mereka?
Kubur dan tapak2 peninggalannya pun tersebar di ranah Minang….

Tambo dan cerita orang tuo-tuo banyak berkisah demikian :
Penguasa alam Minangkabau yang pertama sekali, yang bergelar Suri Maharajo Dirajo turun di Gunung Marapi lalu jadilah Kerajaan awal bernama Pasumayan Koto Batu seperti kata adat:

Darimano titiak palito, dibaliak telong nan batali
Darimano asa niniak moyang kito, di lereng Gunuang Marapi

Dari Pasumayan Koto Batu ini kemudian dibuka Nagari Pariangan dan Padang Panjang. Inilah  asal muasalnya peradaban Minangkabau, sehingga 2 daerah ini disebut sebagai “Tampuk Tangkai Alam Minangkabau”. Undang-undang yang berlaku disebut ‘Undang-undang Si Mumbang Jatuah’. Intinya “Siapa membunuh ia dibunuh; Tiada boleh disanggah, tiada boleh ditentang”, “siapa kuat dia kudrat, siapa kuasa dia berjaya”. Semua keputusan ditangan raja.

Sri Maharaja Diraja mempunyai permaisuri : Puti Indo Jalito (--puteri indera jelita), dimana kemudian lahir putera mahkota bernama Sutan Maharajo Basa (--sutan maharaja besar),
Tetapi belum lagi putera mahkota besar, Sri Maharaja Diraja wafat sehingga tampuk dipegang orang kedua bernama Datuk Suri Dirajo (--seri diraja). Puti Indo Jalito pula kemudian menikah lagi dengan Penasihat almarhum raja, Cati Bilang Pandai bergelar Indo Jati (--indera jati) lalu lahirlah putera bernama Sutan Balun.

Sutan Maharajo Basa kemudian bergelar Datuk Katamanggungan, sedangkan Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sebatang. Jadi sebenarnya mereka bersaudara satu ibu, beda ayahanda saja. Mereka meneroka (membuka) rantau-rantau baru. Mula-mula di Sungai Jambu, lalu dari sini Datuk Ketemenggungan membuka Nagari Bungo Satangkai, sedang Datuk Perpatih Nan Sebatang membuka Nagari Limo Kaum.

Dari sinilah mulai timbul perbedaan dalam menerapkan hukum. Jika Datuk Katamanggungan tetap setia dengan ‘Undang undang Si Mumbang Jatuh’ yang keras dan kuasa mutlak di tangan seseorang, maka Datuk Perpatih menyesuaikannya dengan menerapkan ‘Undang2 Si Lamo-lamo atau Si Gamak-gamak’ lalu diperbaharui lagi dengan ‘Undang undang Tarik Baleh (--Tarik Balas)’ yaitu berasaskan pada kebijakan meletakkan keputusan melalui pertimbangan masak2 untuk mengetahui manfaat dan mudharatnya. Hukum dijatuhkan kepada siapa yang melanggar peraturan tetapi tidak serta-merta melainkan diselidiki dahulu agar dapat diputus seadil-adilnya.

Perubahan oleh Datuk Perpatih ini dianggap terlalu radikal oleh abang tirinya Datuk Katamanggungan yang ingin mempertahankan Undang undang Simumbang Jatuh yang telah diasaskan ayahandanya Sri Maharaja Diraja. Sehingga hampir timbul selisih diantara 2 saudara itu. Tetapi untunglah perbalahan ini dapat diselesaikan dengan kebijakan ninik mamak dan urang basa serta keinsyafan pribadi pribadi datuk ini. Upacara damai mengakhiri perselisihan ini dimeterai dengan menusuk keris di batu. Wujudnya adalah ‘Batu Batikam’ hari ini masih dapat di lihat di Dusun Tuo Limo Kaum.

Hasil dari perundingan damai itu ialah bahwa undang-undang lama dapat diperbandingkan dengan alasan alasan yang wajar. Dan keputusan diambil adalah setelah adanya kaji-selidik dan mufakat bersama.

Selanjutnya dalam perkembangannya bahwa nagari nagari di Alam Minangkabau mengamalkan suatu Undang-undang baru yang merupakan perpaduan dari hukum lama dan baru. “Undang-undang Nan Duo Puluah (Undang-undang XX)” demikian namanya. Ia disusun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang. Adakah ia Datuk yang asli atau keturunannya tiada jawaban yang pasti. Tetapi satu hal bahwa gelaran ini memang dipusakai/menurun ke warisnya, dan mengingat jangka waktu dari zaman Sutan Balun (Pra-Hindu) ke penyusunan Undang2 Nan XX (zaman Islam) maka kemungkinan bahwa penyusunnya adalah keturunan Datuk Perpatih yang asli.

Contoh penyesuaian ini adalah dalam bidal adat, mula-mula (zaman Pra Islam) :

Kamanakan barajo ka mamak (--Kemenakan beraja ke mamak),
Mamak berajo pado pangulu (--Mamak beraja pada penghulu),
Pangulu berajo pado mufakat (--Penghulu beraja pada mufakat),
Mufakat basandi alue jo patuik (--Mufakat bersendi alur dan patut),  
Alue basandi bana (--Alur bersendi benar),
Bana badiri surang (--Benar berdiri sendiri sendirinya).

Datuk Perpatih menambahkan ketika Islam masuk :

Adeik basandi Syarak (--Adat bersendi Syarak)
Syarak basandi Kitabullah (--Syarak bersendi Kitabullah)
Syarak mangato, Adeik memakai (--Syarak mengata Adat memakai)
Kewi kato syarak, Lazim kato Adeik (--Kewi kata syarak, Lazim kata Adat)

Sumber : http://sriandalas.multiply.com

Ringkasan :

Datuk Perpatih

Datuk Ketemenggungan
Nama Minang
Datuk Parapatiah Nan Sabatang
Datuk Katumanggungan
Susur galur
Sutan Balun bin Indera Jati (melalui Puti Indo Jalito)
Sutan Maharajo Basa bin Suri Maharajo Dirajo (melalui Puti Indo Jalito)
Keahlian
Ahli adat & pemerintahan
Ahli Agama
Laras
Bodi – Caniago
Koto – Pialang
Ciri laras
Demokratis, Toleransi
Otokratis, Konservatif

Jatuh ke adat “Hilang dicari, lapuk diganti’
Jatuh ke agama “Siapa membunuh, siapa dibunuh’
Nagari (awal)
Dusun Tuo Limo Kaum
Bungo Satangkai
Baca Selengkapnya
Diberdayakan oleh Blogger.