Oleh : Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995.
Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Menurut
kabar atau ceritera lisan Minangkabau, Bundo Kanduang adalah nama
seorang tokoh wanita yang menurunkan raja-raja Minangkabau, berkedudukan
di Istana Pagaruyung. Dalam perkembangan selanjutnya, Bundo Kanduang
atau Bunda Kandung menjadi istilah yang berarti ibu sejati yang memiliki
sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan.Menurut adat Minangkabau ibu
adalah tempat menarik tali turunan yang disebut matrilineal. Hal ini
mengandung makna agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu terutama
laki-laki, menghormati dan memuliakan ibu tana pandang bulu. Kedudukan
wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari
ciri khas adat Minangkabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain:
jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik
laki-laki maupun perempuan harus beruku Paliang sesuai dengan suku
ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan
lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya.
Seorang ibu akan lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkan seperti pepatah:
Kalau karuah aie di hulu
Sampai ka muaro karuah juo
Kalau kuriak induaknya, rintiak anaknyo
Tuturan atok jatuhan ka pelimbahan
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih: Kalau keruh air dihulu/sampai ke
muuara keruh juga/kalau ibunyi kurik, rintik anaknya/cucuran atap
jatuhnya ke pelimbahan.
Sesuai dengan kedudukan dan peranannya, rumah tempat tinggal
diutamakan untuk wanita, bukan laki-laki. Seorang bapak selalu mempunyai
cita-cita untuk membuatkan rumah tempat tinggal anaknya yang perempuan,
bukan untuk anaknya yang laki-laki. Bahkan menurut adat Minangkabau,
sudah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat
mempengaruhi sistem perkawinan di Minangkabau, dimana setiap terjadi
perkawinan si laki-laki menetap di rumah perempuan, sebaliknya apabila
terjadi perceraian, laki-laki yang pergi dari rumah, perempuan tetap
tinggal.
Sawah dan ladang merupakan sumber ekonomi, pemanfaatannya diutamakan
untuk keperluan wanita karena wanita lebih lemah dibanding laki-laki.
Sebaliknya kaum laki-laki Minangkabau diberi tugas mengurus dan
mengawasi sawah ladang untuk kepentingan bersama karena laki-laki
menjadi tulang punggung bagi wanita, namun tidak berarti bahwa kaum
laki-laki tidak dapat menikmati hasil atau mendapat manfaatnya sama
sekali.
Sesuai dengan sifatnya wanita yang pandai berhemat dan pandai
mengatur ekonomi, maka yang menyimpan hasil sawah ladang dipercayakan
kepada wanita atau Bundo Kanduang.
Menurut adat Minangkabau, segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam
lingkungan kaum dan persukuan selalu melalui musyawarah. Dalam
musyawarah tersebut kaum wanita mempunyai hak suara dan pendapat sama
dengan laki-laki. Bahkan suara dan pendapat wanita menentukan lancar
atau tidaknya pekerjaan tersebut. Misalnya, dalam upacara pernikahan
belum dapat dilaksanakan jika belum mendapat persetujuan dari kaum
wanita atau kaum ibu. Demikian pula dalam mendirikan gelar penghulu
dalam suatu kaum baru dapat diresmikan apabila semua ibu dalam kaum
tersebut menyetujuinya. Di samping itu penggunaan harta pusaka seperti
menggadai, atau hibah dapat dilakukan tetapi harus mendapat persetujuan
dari seluruh wanita anggota kaumnya. Penggunaannya pun untuk kepentingan
bersama, misalnya untuk biaya upacara kematian, biaya upacara
perkawinan anak perempuan dan untuk memperbaiki rumah gadang (rumah
adat).
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Bundo Kanduang
Sesuai dengan tugas ibu sebagai pengantara keturunan dan mendidik
anak-anak yang dilahirkannya, menurut adat Minangkabau seorang ibu harus
memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu
tempat bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya.
Sifat yang herus dimiliki oleh Bundo Kanduang tidak jauh berbeda dengan
sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu, antara lain:
1. Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan
sifat-sifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam
perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak
dan menegakkan kebenaran.
2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam berkata-kata, berbicara maupun bertindak.
3. Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah,
mengetahui untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan mengambil
suatu keputusan. Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai
pengetahuan, sekurang-kurangnya pengetahuan tentang agama, pendidikan
maupun bidang kewanitaan yang sangat berguna dalam berumahtangga. Untuk
mengikuti pergaulan di lingkungan kampung dan nagarinya perlu juga
mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi nagarinya.
4. Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam
arit fasih mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara
atau berkata-kata ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah
tangga, keluarga maupun di lingkungan kaumnya karena merupakan sarana
untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama bagi sesama kaum
wanita dan anak-anak.
5. Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah
perbuatan yang melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku.
Rasa malu merupakan benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat
dan perbuatan tercela. Menurut adat Minangkabau sifat malu merupakan
peran utama dalam kehidupan kaum wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa
malu akan membahayakan kehidupan rumahtangga, bahkan membahayakan
masyarakat.
Selain kelima sisat tersebut, seorang wanita harus dapat menjaga nama
baik agar tetap disebut wanita sejati. Bundo Kanduang harus
berhati-hati dalam tingkah laku dan perbuatan, misalnya dalam pergaulan
dengan laki-laki, cara berpakaian, makan, minum, berbicara dan
sebagainya. Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi wanita di dalam
kehidupan, maka anak perempuan sangat diutamakan, namun bukan berarti
bahwa adat Minangkabau tidak memerlukan keturunan laki-laki.
Keduanya
merupakan dua kesinambungan dan saling mendukung.
Kewajiban Bundo Kanduang
Seorang ibu di Minangkabau mempunyai kewajiban sebagai pemimpin dalam rumahtangga maupun kaumnya antara lain:
Menuruik alua nan lurui
Manampuah jalan nan pasa
Mamaliharo harato pusako
Mamaliharo anak dan kemenakan
Dalam bahasa Indonesia artinya: Mengikuti aturan yang telah
digariskan/Melalui jalan yang biasa ditempuh/Memelihara/menjaga harta
pusaka/Memelihara anak dan kemenakan.
Dengan demikian kewajiban ibu adalah mentaati semua aturan dan
ketentuan adat maupun peraturan di dalam negeri yang sudah diputuskan
dengan mufakat oleh para pemimpin dan pemangku adat. Sebagai contoh
dalam pelaksanaan perkawinan, kematian dan bidang kemasyarakatan
lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu dilandasi oleh
alur dan patut, yaitu melalui jalan yang dibenarkan oleh adat dan agama,
serta yang lazim ditempuh orang.
Harta pusaka seperti sawah, ladang, saluran air, tepian mandi, jalan,
tanah perkuburan dan lain-lain harus dipelihara jangan sampai habis
atau berpindah tangan ke kaum atau nagari lain. Wanita berkewajiban
melarang kaum laki-laki menggadaikan harta pusaka untuk kepentingan di
luar ketentuan adat, apalagi menjualnya. Harta pusaka ini harus dijaga
keutuhannya karena kelak diteruskan kepada generasi berikutnya.
Kewajiban paling utama bagi Bundo Kanduang di Minangkabau adalah
memelihara anak dan kemenakan, yakni anak-anak dari saudara perempuan
suaminya. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang
luas, yang pada pokoknya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang
mungkar atau jahat. Sebagai ibu mempunyai tugas merawat, membimbing,
mendidik anak-anaknya sedangkan terhadap kemenakannya berkewajiban
membimbing; memberi bantuan serta memperhatikan pendidikannya.
Pakaian Adat Bundo Kanduang
Pakaian adat Bundo Kanduang di Minangkabau pada hakekatnya sama, tidak
terdapat perbedaan yang tajam antara luhak (daerah asal) dengan daerah
rantau. Perbedaan hanya terlihat pada bentuk variasi dan hiasannya saja.
Seorang wanita yang diangkat sebagai Bundo Kanduang merupakan wanita yang memegang peranan dalam kaum atau sukunya.
Tidak semua wanita di Minangkabau dianggap Bundo Kanduang karena
harus memenuhi kriteria dan persyaratan seperti uraian di atas.
Sehubungan dengan itu pakaian Bundo Kanduang dalam upacara-upacara adat
mempunyai bentuk-bentuk tertentu dan berbeda dengan wanita lainnya.
Pakaian Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi, seperti yang
terdapat di beberapa daerah di Minangkabau, namun mempunyai persamaan
poko yang merupakan satu kesatuan.
Adapun pakaian Bundo Kanduang menurut adat yang lazim.
1. Tengkuluk
Bagian kepala seorang wanita yang telah diangkat sebagai Bundo Kanduang
pada waktu menghadiri upacara adat harus ditutup. Penutup kepala ini
disebut tengkuluk yang dipakai dengan cara tertentu sehingga bentuknya
menyerupai tanduk kerbau. Tutup kepala tersebut dibuat dari selendang
tenunan Pandai Sikek. Di beberapa daerah terdapat beberapa cara
memakainya sehingga bentuknya pun bervariasi. Di Kabupaten Agam ujungnya
runcing, di Payakumbuh ujung pepat, di daerah Lintau Kabupaten Tanah
Datar tanduknya bertingkat dan lain-lain.
2. Baju kurung
Baju yang dipakai oleh Bundo Kanduang dalam upacara adat disebut baju
kurung yang melambangkan bahwa ibu tersebut terkurung oleh undang-undang
yang sesuai dengan agama dan adat di Minangkabau. Baju kurung ini
diberi hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga kecil yang disebut
tabua atau tabur. Warna baju kurung bermacam-macam menurut darah
masing-masing, seperti hitam, merah tua, ungu atau biru tua. Pada lengan
kiri, kanan atau pinggir bagian bawah baju diberi jahitan tepi yang
disebut minsia, melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus selalu berhati
lapang, sabar menghadapi segala persoalan. Sedangkan hiasan tabur
melambangkan kekayaan alam Minangkabau, warna hitam melambangkan Bundo
Kanduang tahan tempa, tabah dan ulet, warna merah melambangkan
keberanian dan tanggung jawab.
3. Kain sarung atau kodek
Kain sarung yang dipakai oleh Bundo Kanduang dibuat dari kain balapak
atau songket tenunan Pandai Sikek, Padang Panjang. Kain sarung ini
berhiaskan benang emas atau perak dengan motif bunga, daun atau
garis-garis geometris. Sedangkan tepinya dihiasi motif pucuk rebung.
Kain sarung dipakai sebatas mata kaki melambangkan bahwa Bundo Kanduang
harus mempunyai rasa malu, kesopanan, ketaatan beragama tetapi mudah
melangkah. Hiasan tabur pada kain serung melambangkan pengetahuan Bundo
Kanduang sebanyak bintang di langit, motif pucuk rebung melambangkan
inisiatif dan gerak dinamis masyarakat Minangkabau.
4. Selandang
Setelah memakai baju kurung, di atas bahu kanan dipakai selendang atau
selempang dari kain songket yang disebut kain balapak buatan Pandai
Sikek. Cara memakainya di selempangkan dari bahu kanan ke bawah tangan
kiri, melambangkan tanggung jawab yang dibebankan di pundak Bundo
Kanduang, yang harus dilaksanakan dengan baik.
Sebagai pelengkap pakaian adat Bundo Kanduang antara lain selop atau
sandal, kampie yaitu sejenis kantung kacil terbuat dari kain beludru
sebagai tempat sirih pinang. Sebagai perhiasan antara lain kalung dan
gelang. Kalung Bundo Kanduang ada beberapa macam, yaitu kalung cekik
leher, kalung kaban, kalung rago-rago dan kalung panjang.
Leher sebagai lambang kebenaran akan tetap berdiri teguh dan sebagai
pernyataan tetap menegakkan kebenaran dilambangkan dengan memberi hiasan
kalung. Kalung juga melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh
Bundo Kanduang dan sebagai pengatur ekonomi maka perlu menyimpan harta
dalam bentuk emas yang sukar dihabiskan.
Selain kalung, hiasan lainnya adalah gelang, yaitu gelang gadang atau
besar, gelang rago-rago dan gelang kunci manik. Pemakaian gelang
melambangkan semua yang dikerjakan Bundo Kanduang harus dalam
batas-batas tertentu, menjangkau ada batasnya, melangkahkan kaki juga
ada batasnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bundo Kanduang merupakan
figur ibu sejati yang sangat diharapkan dan sangat berperan dalam
masyarakat Minangkabau. Tidak semua wanita atau semua ibu mempunyai
predikat Bundo Kanduang karena harus memiliki beberapa kriteria dan
persyaratan tertentu yang digariskan menurut agama dan adat Minangkabau.
Sebaliknya kaum ibu yang disebut Bundo Kanduang sangat dihormati dan
dimuliakan. Kedudukan dan peranannya dalam adat sangat besar. Karena
status tersebut, Bundo Kanduang mempunyai batas-batas yang digariskan
oleh adat dalam berbuat, bertindak dan bertingkah laku. Gambaran Bundo
Kanduang ini diwujudkan pula dalam pakaian adat yang dipakai dalam
upacara tertentu, yang penuh dengan lambang dan makna.
Sayang sekali jika hal ini tidak diketahui oleh generasi muda,
khususnya pendukung kebudayaan bersangkutan karena berarti tidak
mengenal dan mencintai nilai budaya nenek moyang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar