https://si0.twimg.com/profile_images/1668065901/196658_10150137918697277_707352276_6260986_5435390_n.jpg
Jimmy Blog |Pengembara yang mencari nilai-nilai |

Sosial Kemasyarakatan Minangkabau

Jumat, 18 Mei 2012

print this page
send email

Persukuan

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.[6]

Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.

Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.[3]

Nagari


Pakaian khas suku Minangkabau pada tahun 1900-an.
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu untuk mendapatkan status dan prestise.[45] Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi.

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[6] Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut.

Penghulu

Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.

Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku.[46] Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.

Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.[47]

Kerajaan


Istana Pagaruyung sebuah legitimasi institusi kerajaan Minangkabau.
Dalam laporan de Stuers[48] kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno.[49] Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.

Minangkabau perantauan

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.[50]

Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.

Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.

Jumlah perantau

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%.[51] Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.[27]

Namun tidak terdapat angka pasti mengenai jumlah orang Minang di perantauan. Angka-angka yang ditampilkan dalam perhitungan, biasanya hanya memasukkan para perantau kelahiran Sumatera Barat. Namun belum mencakup keturunan-keturunan Minang yang telah beberapa generasi menetap di perantauan.

Para perantau Minang, hampir keseluruhannya berada di kota-kota besar Indonesia dan Malaysia. Di beberapa perkotaan, jumlah mereka cukup signifikan dan bahkan menjadi pihak mayoritas. Di Pekanbaru, perantau Minang berjumlah 37,7% dari seluruh penduduk kota, dan menjadi etnis terbesar di kota tersebut.[52] Jumlah ini telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 1971 yang mencapai 65%.[53] Di kota-kota lainnya, dimana jumlah orang Minangkabau mencapai 10% atau lebih dari keseluruhan penduduk kota tersebut ialah Takengon (25,9%), Sigli (25,4%), Tanjung Pinang (20%), Binjai (16,6), Sibolga (16,6%), Sabang (15,9%), Gunungsitoli (14,5%), Tanjung Balai (13,9%), Medan (13,5%), Padang Sidempuan (13,3%).[51]

Gelombang rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, di mana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[54] Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera. Mereka mendirikan koloni-koloni dagang di Batubara, Pelalawan, hingga melintasi selat ke Penang dan Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang banyak bermukim di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee; Barus, Sibolga, Natal, hingga Bengkulu.[55] Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.[56] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran kembali terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, pada tahun 1961 jumlah perantau Minang terutama di kota Jakarta meningkat 18,7 kali dibandingkan dengan tingkat pertambahan penduduk kota itu yang hanya 3,7 kali,[57] dan pada tahun 1971 etnis ini diperkirakan telah berjumlah sekitar 10 % dari jumlah penduduk Jakarta waktu itu.[58] Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

Masjid Tuo Kayu Jao di kecamatan Gunung Talang, kabupaten Solok yang didirikan sekitar abad ke-16.

Perantauan intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Mohammad Amir. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.[59]

Sebab merantau

Faktor budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.

Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya.[60] Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[61] Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Salah satu motif tenun songket Minangkabau khas nagari Pandai Sikek.

Faktor ekonomi

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seng, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka.[62] Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.[63]

Pedagang dari Arab pada abad ke-9, telah melaporkan bahwa masyarakat di pulau Sumatera telah menggunakan sejumlah emas dalam perdagangannya. Kemudian dilanjutkan pada abad ke-13 diketahui ada raja di Sumatera yang menggunakan mahkota dari emas. Tomé Pires sekitar abad ke-16 menyebutkan, bahwa emas yang diperdagangangkan di Malaka, Panchur (Barus), Tico (Tiku) dan Priaman (Pariaman), berasal dari kawasan pedalaman Minangkabau. Disebutkan juga kawasan Indragiri pada sehiliran Batang Kuantan di pesisir timur Sumatera, merupakan pusat pelabuhan dari raja Minangkabau.[64]

Dalam prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman disebut bahwa dia adalah penguasa bumi emas. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mendorong Belanda membangun pelabuhan di Padang[65] dan sampai pada abad ke-17 Belanda masih menyebut yang menguasai emas kepada raja Pagaruyung.[66] Kemudian meminta Thomas Diaz untuk menyelidiki hal tersebut, dari laporannya dia memasuki pedalaman Minangkabau dari pesisir timur Sumatera dan dia berhasil menjumpai salah seorang raja Minangkabau waktu itu (Rajo Buo), dan raja itu menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan masyarakatnya adalah pendulang emas.[67]

Sementara itu dari catatan para geologi Belanda, pada sehiliran Batanghari dijumpai 42 tempat bekas penambangan emas dengan kedalaman mencapai 60 m serta di Kerinci waktu itu, mereka masih menjumpai para pendulang emas.[68] Sampai abad ke-19, legenda akan kandungan emas pedalaman Minangkabau, masih mendorong Raffles untuk membuktikannya, sehingga dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang berhasil mencapai Pagaruyung melalui pesisir barat Sumatera.[69]

Faktor perang


Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers.
Beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau terutama dari daerah konflik, setelah perang Padri,[24] muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh menentang Belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926-1927.[70] Setelah kemerdekaan muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.[58] Dari beberapa perlawanan dan peperangan ini, memperlihatkan karakter masyarakat Minang yang tidak menyukai penindasan. Mereka akan melakukan perlawanan dengan kekuatan fisik, namun jika tidak mampu mereka lebih memilih pergi meninggalkan kampung halaman (merantau). Orang Sakai berdasarkan cerita turun temurun dari para tetuanya menyebutkan bahwa mereka berasal dari Pagaruyung.[71] Orang Kubu menyebut bahwa orang dari Pagaruyung adalah saudara mereka. Kemungkinan masyarakat terasing ini termasuk masyarakat Minang yang melakukan resistansi dengan meninggalkan kampung halaman mereka karena tidak mau menerima perubahan yang terjadi di negeri mereka. De Stuers sebelumnya juga melaporkan bahwa masyarakat Padangsche Bovenlanden sangat berbeda dengan masyarakat di Jawa, di Pagaruyung ia menyaksikan masyarakat setempat begitu percaya diri dan tidak minder dengan orang Eropa. Ia merasakan sendiri, penduduk lokal lalu lalang begitu saja dihadapannya tanpa ia mendapatkan perlakuan istimewa, malah ada penduduk lokal meminta rokoknya, serta meminta ia menyulutkan api untuk rokok tersebut.[48]

Merantau dalam sastra

Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.

Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

Orang Minangkabau dan kiprahnya

Orang Minang terkenal sebagai kelompok yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian.[27] Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.[72] 3 dari 4 orang pendiri Republik Indonesia adalah putra-putra Minangkabau.[73][74]

Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Pada tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina selatan.[51] Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Di akhir abad ke-16, beberapa ulama Minangkabau seperti Tuanku Tunggang Parang, Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, Dato Ri Tiro, dan Dato Karama, menyebarkan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa Tenggara.

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah memengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.

Pada periode 1920–1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, pada masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.

Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Daan Jahja (Jakarta), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatera Selatan), Eny Karim (Sumatera Utara), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[75]
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis pergerakan.

Penulis Minang banyak memengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.

Tuanku Abdul Rahman, salah seorang tokoh Minang yang berpengaruh di kawasan rantau.

Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, keuangan, dan kesehatan. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik ALatief Corporation), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia).

Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Afgan Syah Reza, Aznil Nawawi, Dorce Gamalama, Marshanda, dan Nirina Zubir. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Di samping mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.

Di Malaysia dan Singapura, kontribusi orang Minangkabau juga cukup besar. Pada tahun 1723, Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I, duduk sebagai sultan Johor sebelum akhirnya mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.[76] Di awal abad ke-18, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan Nakhoda Kecil meneruka Pulau Pinang.[77] Tahun 1773, Raja Melewar diutus Pagaruyung untuk memimpin rantau Negeri Sembilan. Ia juga menyebarkan Adat Perpatih dan Adat Tumenggung, yang sampai saat ini masih berlaku di Semenanjung Malaya. Menjelang masa kemerdekaan beberapa politisi Minang mendirikan partai politik. Di antaranya adalah Ahmad Boestamam yang mendirikan Parti Rakyat Malaysia dan Rashid Maidin yang mengikrarkan Parti Komunis Malaya. Setelah kemerdekaan Tuanku Abdul Rahman menjadi Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia. Sedangkan Rais Yatim, Amirsham Abdul Aziz, dan Abdul Samad Idris, duduk di kursi kabinet. Beberapa nama lainnya yang cukup berjasa adalah Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Muhammad Saleh Al-Minangkabawi (kadi besar Kerajaan Perak), Tahir Jalaluddin Al-Azhari (ulama terkemuka), Adnan bin Saidi (pejuang kemerdekaan Malaysia), dan Abdul Rahim Kajai (perintis pers Malaysia). Di Singapura, Mohammad Eunos Abdullah muncul sebagai politisi Singapura terkemuka, Yusof bin Ishak menjadi presiden pertama Singapura, dan Zubir Said menciptakan lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura.

Beberapa tokoh Minang juga memiliki reputasi internasional. Di antaranya, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, dan menjadi orang Hindia pertama yang duduk sebagai anggota parlemen Belanda.[78] Di Arab Saudi, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, menjadi satu-satunya orang non-Arab yang pernah menjabat imam besar Masjidil Haram, Mekkah. Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam terkemuka, pernah menduduki posisi presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Serta Azyumardi Azra, orang pertama di luar warga negara Persemakmuran yang mendapat gelar Sir dari Kerajaan Inggris.[79]

Sumber : Wikipedia

Catatan kaki

  1. ^ a b Minangkabau poeple. Encyclopædia Britannica. Diakses pada 14 Maret 2012.
  2. ^ "Laporan Kiraan Permulaan 2010". Jabatan Perangkaan Malaysia. p. iv. Diarsipkan dari yang asli pada 27 Desember 2010. Diakses pada 24 Januari 2011.
  3. ^ a b De Jong, P.E de Josselin (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhartara.
  4. ^ Kingsbury, D.; Aveling, H. (2003). Autonomy and Disintegration in Indonesia. Routledge. ISBN 0-415-29737-0.
  5. ^ a b c Navis, A.A. (1984). Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
  6. ^ a b c d Batuah, A. Dt.; Madjoindo, A. Dt. (1959). Tambo Minangkabau dan Adatnya. Jakarta: Balai Pustaka.
  7. ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157.
  8. ^ Evers, Hans Dieter; Korff, Rüdiger (2000). Southeast Asian Urbanism. LIT Verlag Münster: Ed.2nd. hlm. 188. ISBN 3-8258-4021-2.
  9. ^ Ong, Aihwa; Peletz, Michael G. (1995). Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia. University of California Press. hlm. 51. ISBN 0-520-08861-1.
  10. ^ Jones, Gavin W.; Chee, Heng Leng; Mohamad, Maznah (2009). "Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira". Muslim-Non-Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 51. ISBN 978-981-230-874-0.
  11. ^ Graves, Elizabeth E. (1981). The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century. Itacha, New York: Cornell Modern Indonesia Project #60. hlm. 1.
  12. ^ Ramli, Andriati (2008). Masakan Padang: Populer & Lezat. Niaga Swadaya. ISBN 978-979-1477-09-3.
  13. ^ a b Djamaris, Edwar (1991). Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 220-221. ISBN 978-979-1477-09-3.
  14. ^ Hill, A.H. (1960). Hikayat Raja-raja Pasai. London: Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland.
  15. ^ Brandes, J.L.A. (1902). Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op Koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, Naar Het Eenige Daarvan Bekende Handschrift, Aangetroffen in de Puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Cœdès, George (1930). Les Inscriptions Malaises de Çrivijaya. BEFEO.
  17. ^ Purbatjaraka, R.M. Ngabehi (1952). Riwajat Indonesia. Jakarta: Jajasan Pembangunan.
  18. ^ Casparis, J.G. De (1956). Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru. Dinas Purbakala Republik Indonesia.
  19. ^ Raffles, T.S. (1821). Malay Annals. Penerjemah: John Leyden, Longman, Hurst, Rees, Orme, dan Brown.
  20. ^ Graves (1981). hlm. 4.
  21. ^ Andaya, L.Y. (2008). Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-3189-6.
  22. ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau. 2. pp. 1–24. doi:10.2307/3350753.
  23. ^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern "Ulamā" in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
  24. ^ a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol (Terjemahan). Padang: PPIM.
  25. ^ Westenenk, L.C. (1918). De Minangkabausche Nagari. Weltevreden: Visser. hlm. 59.
  26. ^ Koning, Juliette (2000). Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. Routledge. ISBN 0-7007-1156-2.
  27. ^ a b c Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah. Balai Pustaka. ISBN 979-690-360-1.
  28. ^ Simanjuntak, Mengantar (1982). Aspek Bahasa dan Pengajaran. Sarjana Enterprise.
  29. ^ Garry, J.; R., Carl; Rubino, G. (2001). Facts About the World's Languages: An Encyclopedia of the World's Major Languages, Past and Present. H.W. Wilson. ISBN 0-8242-0970-2.
  30. ^ Medan, Tamsin (1985). Bahasa Minangkabau Dialek Kubuang Tigo Baleh. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  31. ^ Nadra (2006). Rekonstruksi Bahasa Minangkabau. Andalas University Press. ISBN 979-3364-55-6.
  32. ^ a b c Khaidir Anwar (1976). "Minangkabau, Background of the Main Pioneers of Modern Standard Malay in Indonesia". Archipel 12: 77-93.
  33. ^ Sneddon, James (2003). "The 20th Century to 1945". The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney: UNSW Press. hlm. 94. ISBN 0-86840-598-1.
  34. ^ Phillips, Nigel (1981). Sijobang: Sung Narrative Poetry of West Sumatra. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-23737-6.
  35. ^ Pauka, K. (1998). Theater and Martial Arts in West Sumatra: Randai and Silek of the Minangkabau. Ohio University Press. ISBN 978-0-89680-205-6.
  36. ^ Suryadi (2010). Masa Depan Seni Bersilat Lidah Minangkabau. Padang Ekspres.
  37. ^ Graves, Elizabeth E. (2007). Asal-usul Elite Minangkabau Nodern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-661-1.
  38. ^ Sayuti, Azinar; Abu, Rifai (1985). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. hlm. 202.
  39. ^ Navis, A.A.. Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3. Grasindo. ISBN 979-759-551-X.
  40. ^ Idris, Soewardi (2004). Sekitar Adat Minangkabau. Jakarta: Kulik-Kulik Alang, Himpunan Eks-Siswa SMP Negeri Solok Masa Revolusi, 1946-1949.
  41. ^ Owen, Sri (1993). The Rice Book. Doubleday. ISBN 0-7112-2260-6.
  42. ^ Owen, Sri (1994). Indonesian Regional Food and Cookery Doubleday. London dan Sydney: Frances Lincoln Ltd. ISBN 978-1862056787.
  43. ^ "World’s 50 Most Delicious Foods by CNN GO". 7 September 2011. Diakses pada 18 Mei 2012.
  44. ^ Pudji Rahayu, Winiati. "Aktifitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil Olahan Industri Terhadap Bakteri Patogen Perusak".
  45. ^ Graves (1981). hlm. 11.
  46. ^ Stibbe (1869). Het Soekoebestuur in de Padangsche Bovenlanden. hlm. 33.
  47. ^ Graves (1981). hlm. 25.
  48. ^ a b De Stuers, Hubert Joseph Jean Lambert (30 Agustus 1825). Laporan Kepada Gubernur Jendral. hlm. 33. Exhibitum. 24 Agustus 1826. No. 41.
  49. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian Democracy Vol. 11. University of California Press. hlm. 25-86.
  50. ^ Graves (1981). hlm. 40.
  51. ^ a b c Naim, Mochtar. Merantau, Minangkabau Voluntary Migration. University of Singapore.
  52. ^ "Peran Budaya Melayu dan Kewirausahaan". Bappeda Kota Pekanbaru.
  53. ^ Andaya, Barbara Watson (1997). Recreating a Vision. Daratan and Kepulauan in Historical Context. hlm. 503.
  54. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  55. ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784–1847.
  56. ^ "Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah". www.rajaalihaji.com. 24 Desember 2008. Diakses pada 22 Juli 2011.
  57. ^ Castles, Lance (1967). Religion, Politics, and Economic Behaviour in Java: The Kudus Cigarette Industry. Yale University.
  58. ^ a b Syamdani (2009). PRRI, Pemberontakan atau Bukan. Media Pressindo. ISBN 978-979-788-032-3.
  59. ^ Poeze, Harry A.. In Het Land van de Overheerser: Indonesiër in Nederland 1600-1950.
  60. ^ Radjab, Muhammad (1950). Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928): Autobiografi Seorang Anak Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.
  61. ^ "Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma'arif, Satu Nomor Contoh Produk Tradisi Merantau". Antara Biro Sumatera Barat. 5 November 2008. Diakses pada 22 Juli 2011.
  62. ^ Van R.W., Bemmelen (1970). The Geology of Indonesia. The Haque.
  63. ^ P., Wheatley (1961). The Golden Khersonese. Kuala Lumpur. hlm. 177-184.
  64. ^ A., Cortesao (1944). The Suma Oriental of Tome Pires. London: Hakluyt Society.
  65. ^ W., Marsden (1811). The History of Sumatra. London.
  66. ^ NA, VOC (1277). Mission to Pagaruyung. Fols. 1027r-v.
  67. ^ De Haan, F. (1896). Naar Midden Sumatra in 1684. Batavia: Albrecht & Co.
  68. ^ A., Tobler (1911). Djambi-Verslag. Jaarboek van het Minjwezen in Nedelandsch Oost-Indie: Verhandelingen. XLVII/3.
  69. ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
  70. ^ Kahin, Audrey R. (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-519-5.
  71. ^ Suparlan, Parsudi (1995). hlm. 73.
  72. ^ Majalah Tempo Edisi Khusus Tahun 2000. Desember 1999.
  73. ^ Tim Wartawan Tempo (2010). 4 Serangkai Pendiri Republik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  74. ^ Empat pendiri Republik Indonesia adalah Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka.
  75. ^ "Budaya Merantau Orang Minang (1) Kalaulah di Bulan Ada Kehidupan". Pos Metro Padang. 10 Oktober 2008. Diakses pada 24 Juli 2011.[pranala nonaktif]
  76. ^ "Sejarah Kerajaan Siak". www.melayuonline.com. Diakses pada 22 Juli 2011.
  77. ^ "Losing a Big Part of Our Heritage". New Straits Times.
  78. ^ "Mengenang Sastrawan Rustam Effendi". Tempo Interaktif. 2 Juni 1979. Diakses pada 22 Juli 2011.
  79. ^ "Sir Azra dan Islam Indonesia". Okezone.com.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.